"Mari kita terus dukung KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dengan penuh. Pemberantasan korupsi tetap menjadi prioritas nasional,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam acara penandatanganan nota kesepakatan Rencana Aksi Bersama tentang Reformasi Tata Kelola Sektor Kehutanan di Istana Negara (Kompas, 13/3).
Agenda pemberantasan korupsi memang terus berjalan. Satu per satu, pejabat publik atau politisi ditangkap atau ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Ada mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq dan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, belum lagi sejumlah anggota DPR dan DPRD.
Bukan tak mungkin masih banyak pejabat publik atau politisi yang akan dijerat KPK. Mengapa? Banyak kalangan menilai, sistem politik atau sistem partai politik saat ini membuat praktik koruptif berjalan sistematis. Seorang ”malaikat” yang masuk ke sistem itu pun mungkin akan tersandung korupsi.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menilai, sistem politik dan kepartaian saat ini menimbulkan biaya politik yang tinggi sehingga mendorong orang-orang mengeluarkan biaya tinggi untuk menjadi wali kota/bupati, gubernur, hingga presiden. ”Setelah itu, orang disibukkan membayar kuitansi, dan itu tidak terlepas dari praktik kolusi dan korupsi. Jadi, kita berada di lingkaran setan kebobrokan,” katanya.
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU No 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD memang diatur ketentuan mengenai keuangan parpol dan dana kampanye. Pasal 34 Ayat (1) UU No 2/2008, misalnya, mengatur keuangan parpol bersumber dari iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum, dan bantuan dari APBN/APBD.
Terkait sumbangan yang sah menurut hukum itu diperjelas lagi bentuk sumbangannya, yaitu sumbangan dari perseorangan anggota parpol atau perseorangan bukan anggota parpol paling banyak Rp 1 miliar dan sumbangan dari perusahaan atau badan usaha sebesar Rp 4 miliar dalam satu tahun anggaran.
Namun, ketentuan itu jelas hanya menjadi ketentuan administratif. Rekening atau kas parpol juga sekadar menjadi ”pajangan”. Artinya, sulit mengawasi sumber keuangan parpol. Apakah mungkin seseorang, baik anggota maupun bukan anggota parpol, yang memberi sumbangan ingin dinyatakan secara terbuka bahwa ia menyumbang miliaran rupiah?
Selain sumber keuangan parpol yang diatur dalam UU No 2/2008, kasus-kasus dugaan korupsi, terutama yang melibatkan politisi, dapat menunjukkan kemungkinan adanya sumber- sumber lain yang dapat menjadi sumber keuangan parpol.
Dengan adanya kasus-kasus dugaan korupsi yang melibatkan politisi atau pengurus parpol, secara hukum parpol sebagai institusi atau lembaga memang tidak dapat dikenai sangkaan melakukan dugaan tindak pidana korupsi. Dugaan tindak pidana korupsi baru menyangkut subyek hukum, orang atau individu yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.
KPK memang sudah sering menangkap atau menetapkan para politisi dan pejabat publik sebagai tersangka. Namun, menurut pengamat politik J Kristiadi, upaya pemberantasan korupsi tidak cukup dilakukan dengan penegakan hukum seperti itu.
”Sistem politik harus dibenahi,” ujarnya. Salah satunya, bagaimana pengawasan terhadap sumber dan pengelolaan dana parpol. Untuk itu, dibutuhkan komitmen dari pengurus parpol, politisi, dan masyarakat secara luas, termasuk media massa.
Sumber : Kompas, 18 Maret 2013
0 komentar:
Posting Komentar