JAKARTA : Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terkait
penyadapan jangan sampai bertentangan dengan hal senada yang tercantum dalam Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).
penyadapan jangan sampai bertentangan dengan hal senada yang tercantum dalam Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Jangan
sampai bertentangan dengan Undang-Undang KPK yang sudah ada. Karena
korupsi sifatnya lex specialis, maka Undang-Undang KPK sifatnya sama,"
kata Juru Bicara KPK Johan Budi di Jakarta, Rabu.
Dia
menjelaskan, dalam UU KPK disebutkan bahwa penyadapan merupakan
kewenangan penuh KPK, sehingga tidak perlu persetujuan hakim. "Apakah
RUU itu (KUHAP) mengatur penyadapan yang dilakukan KPK? Kalau ada,
berarti ada pertentangan dengan UU KPK," ujarnya.
Dalam
naskah akademik revisi KUHAP, disebutkan bahwa KPK harus mendapatkan
izin dari hakim pemeriksa pendahulu untuk melakukan penyadapan.
Penyadapan dilakukan dengan perintah tertulis dan atasan penyidik
setelah mendapatkan izin hakim pemeriksa pendahuluan.
Berdasarkan
naskah akademik revisi KUHAP tersebut, terdapat pengecualian izin Hakim
Pemeriksa Pendahuluan apabila penyadapan harus dilakukan dalam keadaan
mendesak. Namun tetap saja harus ada laporan kepada Hakim melalui
penuntut umum.
Revisi
KUHAP juga mengatur, penyadapan merupakan hal yang dilarang tetapi
tetap bisa dilakukan lembaga penegak hukum dengan sejumlah persyaratan
yang ketat.
Penyadapan
hanya bisa dilakukan untuk sejumlah tindak pidana yang tergolong serius
dan keras. Contohnya tindak pidana korupsi, perdagangan orang,
penyelundupan, pencucian uang, dan pemalsuan uang.
Secara,
terpisah, Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana menjamin
pemerintah tidak akan pernah melemahkan KPK melalui revisi KUHAP,
termasuk soal kewenangan penyadapan KPK.
"Pemerintah
tidak akan, tidak akan pernah melemahkan KPK. Dalam penyadapan, usulan
kami jelas. KPK tetap dikecualikan dan tidak perlu izin hakim pemeriksa
pendahuluan," ujar Denny dalam siaran pers yang diterima redaksi.
Denny
menegaskan, UU KPK adalah lex specialis, sebuah aturan khusus, yang
tidak harus merujuk pada aturan yang berlaku lebih umum, seperti KUHAP.
Karenanya, tegas Denny, penyadapan oleh KPK dikecualikan dari izin
penyadapan yang diatur dalam KUHAP.
"KUHAP sebagai lex generalis hanya akan berlaku (di KPK) sepanjang UU KPK tidak mengatur lain," ujar Denny.
Pemerintah,
tegas dia, akan selalu mendukung KPK sebagai lembaga yang luar biasa
dalam pemberantasan korupsi. Bentuk dukungan pemerintah pun dipastikan
berupa upaya penguatan,
bukan pelemahan.
bukan pelemahan.
Denny
menyatakan, pemerintah berterima kasih atas banyak masukan terkait
rencana revisi KUHAP selama ini. Menurut dia, penyempurnaan RUU KUHAP
mungkin saja terjadi. "(Tapi) kami akan pastikan naskah akademik dan
rumusan di RUU KUHAP akan sejalan dengan penguatan agenda pemberantasan
korupsi dan KPK," ujar dia.
Sementara
itu, anggota Komisi III DPR Ahmad Yani mengatakan pihaknya bertekad
menyelesaikan pembahasan RUU KUHAP pada periode 2009-2014. Tahap awal
pembahasan, kata dia, Komisi III mengagendakan kunjungan kerja ke
beberapa wilayah di Indonesia.
"Tanggal
24-26 Maret 2013, Komisi III DPR RI akan melakukan kunjungan kerja ke
Kalimantan Timur. Tanggal 27-29 Maret 2013 ke Sumatera Barat. Pekan lalu
Komisi III DPR RI sudah road show ke Universitas Diponegoro, Semarang,
Jawa Tengah," kata Yani.
Selain
dua RUU tersebut, Komisi III DPR RI akan menyelesaikan dua RUU sampM
berakhirnya periode DPR RI Mi. "Kami ingin sistem hukum yang
terintegrasi antara RUU KUHP, KUHAP, RUU Kejaksaan dan RUU Mahkamah
Agung," ujar Yani.
Sedangkan
anggota Komisi III DPR RI lainnya, Eva Kusuma Sundari menyatakan,
diselesaikannya 4 RUU itu pada periode 2009-2014 merupakan tekad
bersama. "Ini akan jadi warisan dan sejarah bagi Komisi III DPR RI untuk
periode 2009-2014," kata Eva.
Sumber : Suara Karya, 21 Maret 2013
0 komentar:
Posting Komentar