Jakarta
- Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memang
memuat sejumlah hal yang progresif bagi pemberantasan korupsi dan
menjamin hak asasi warga. Namun, sejumlah pasal justru kontraproduktif
untuk pemberantasan korupsi.
Salah
satu pasal krusial dalam RUU KUHAP adalah Pasal 83 yang mengatur
tentang penyadapan. Untuk melakukan penyadapan, penyidik harus
mendapatkan izin dari hakim komisaris. Terkait hal ini, dalam naskah
akademis RUU KUHAP disebutkan ”..., tak ada kecuali, KPK pun melakukan
penyadapan harus dengan izin hakim komisaris.”
Meski
merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap hak privasi warga
negara, ketentuan itu dapat melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Dalam kondisi lembaga peradilan yang belum sepenuhnya bersih,
pasal tersebut bisa melemahkan KPK, apalagi jika kasus tersebut
melibatkan aparat pengadilan. Sebelum hakim komisaris terbentuk, jabatan
itu dipegang ketua pengadilan.
Menurut
Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, tidak masuk akal ketika faktanya
penegak hukum masih menjadi bagian dari korupsi sistemik, penyadapan KPK
harus seizin ketua pengadilan. ”Dalam realitas seperti itu, tidak masuk
akal dan patut dipertanyakan kejujurannya jika ada penyelundupan pasal
tentang penyadapan harus seizin ketua pengadilan,” ujarnya, Selasa
(19/3), di Jakarta.
Wakil
Ketua KPK Adnan Pandu Praja mengaku kaget dengan adanya ketentuan
permintaan izin dalam hal penyadapan. Menurut Adnan, KPK memang tak
pernah diajak bicara oleh pemerintah dalam upaya revisi KUHAP.
”Mestinya, kan, KPK juga didengar dulu masukan-masukannya sebelum
mengatur ketentuan soal penyadapan,” katanya.
Pemerintah,
menurut Busyro, sebaiknya belajar dari penolakan rakyat terhadap
upaya-upaya pelemahan KPK yang dilakukan, antara lain melalui revisi
sejumlah ketentuan hukum.
”Tentu
kekuatan koruptor dalam praktik ketatanegaraan yang berciri
’korporatokrasi’ dewasa ini akan berusaha menumpangi momentum revisi
KUHAP untuk black business mereka. Pemerintah dan DPR sudah cukup
belajar dari reaksi rakyat yang menolak revisi UU KPK, terutama yang
menyapu pasal tentang hak sadap KPK,” katanya.
Secara
terpisah, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin
mengatakan, penyadapan KPK tidak perlu meminta izin ketua pengadilan
negeri. Hal ini karena UU KPK yang bersifat lex specialis sehingga
secara khusus dibedakan ketentuannya dengan KUHAP. ”KPK dikecualikan
dengan asas lex specialis,” ujar Amir.
Meskipun
demikian, Amir mengakui, sebenarnya tetap ada potensi perdebatan hukum
jika asas lex specialis UU KPK, terutama yang mengatur kewenangan
penyadapan, pada akhirnya dibenturkan dengan aturan baru di KUHAP.
Sosialisasi
Karena
itu, Busyro mengatakan, draf akademik revisi KUHAP harus
disosialisasikan secara maksimal dan dijadikan diskusi masyarakat sipil.
”Tahapan ini harus clear dan jujur. Perlu juga daftar inventarisasi
masalah (DIM) sesuai draf akademik dan sejalan, serta mendukung
moralitas penegakan hukum dalam konstelasi korupsi lintas institusi,”
katanya.
Pemerintah
memang telah mengajukan revisi KUHAP untuk dibahas bersama DPR. Namun,
pemerintah belum menyerahkan DIM ke DPR. Belum ada keputusan apakah
pemerintah akan bermitra dengan panitia khusus atau Komisi III DPR untuk
membahas RUU tersebut. Namun, yang jelas pembahasan RUU KUHAP bersama
dengan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ditargetkan selesai
sebelum DPR periode 2009-2014 mengakhiri tugasnya.
Guru
Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Prof Eddy OS
Hiariej dan Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin Prof Aswanto, secara terpisah, mengatakan, pembahasan RUU
tersebut harus dikawal karena ada sejumlah pasal yang krusial.
”Jika
lengah, banyak hal-hal krusial, misalnya, terkait pemberantasan korupsi
bisa dikebiri tanpa disadari, salah satunya soal penyadapan,” kata
Eddy.
Dari
sisi teknis, menurut Aswanto, KUHAP itu ada untuk menegakkan hukum
materiil. Namun, masalahnya, hukum materiilnya, yaitu KUHP, sementara
masih dibahas. ”Kita berharap hukum materiil dibahas dulu, baru
menuntaskan hukum acara. Setelah KUHP kelar, kita baru melihat
norma-norma untuk menegakkan KUHAP,” katanya.
Aswanto
khawatir, jika rancangan KUHAP dibahas terlebih dulu, nanti ada
norma-norma yang tidak disiapkan di hukum materiilnya. Selain soal
teknis, di rancangan KUHAP dan KUHP memang ada konsep-konsep yang
diperdebatkan. ”Misalnya, ada yang berkeinginan agar kewenangan
penyadapan itu hilang. Padahal, UU lain sudah mengatur, misalnya, untuk
kejahatan pidana luar biasa, seperti narkoba, terorisme, dan korupsi,
bisa melakukan penyadapan dengan leluasa,” kata Aswanto.
Menurut
pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia, Mudzakir, pembatasan
terhadap penyadapan sangat penting untuk perlindungan hak asasi
seseorang yang dijamin konstitusi. Soal kekhawatiran izin tersebut
”bocor” harus diimbangi dengan adanya ketentuan hukum yang tegas untuk
mencegahnya.
Amir mengatakan, revisi KUHAP ini masih perlu disosialisasikan dan diberi masukan, termasuk masukan dari KPK.
Sumber : Kompas, 20 Maret 2013