Minggu, 24 Maret 2013

Fenomena : Revisi KUHP Jangan Bertentangan UU KPK

JAKARTA : Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terkait
penyadapan jangan sampai bertentangan dengan hal senada yang tercantum dalam Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Jangan sampai bertentangan dengan Undang-Undang KPK yang sudah ada. Karena korupsi sifatnya lex specialis, maka Undang-Undang KPK sifatnya sama," kata Juru Bicara KPK Johan Budi di Jakarta, Rabu.
Dia menjelaskan, dalam UU KPK disebutkan bahwa penyadapan merupakan kewenangan penuh KPK, sehingga tidak perlu persetujuan hakim. "Apakah RUU itu (KUHAP) mengatur penyadapan yang dilakukan KPK? Kalau ada, berarti ada pertentangan dengan UU KPK," ujarnya.
Dalam naskah akademik revisi KUHAP, disebutkan bahwa KPK harus mendapatkan izin dari hakim pemeriksa pendahulu untuk melakukan penyadapan. Penyadapan dilakukan dengan perintah tertulis dan atasan penyidik setelah mendapatkan izin hakim pemeriksa pendahuluan.
Berdasarkan naskah akademik revisi KUHAP tersebut, terdapat pengecualian izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan apabila penyadapan harus dilakukan dalam keadaan mendesak. Namun tetap saja harus ada laporan kepada Hakim melalui penuntut umum.
Revisi KUHAP juga mengatur, penyadapan merupakan hal yang dilarang tetapi tetap bisa dilakukan lembaga penegak hukum dengan sejumlah persyaratan yang ketat.
Penyadapan hanya bisa dilakukan untuk sejumlah tindak pidana yang tergolong serius dan keras. Contohnya tindak pidana korupsi, perdagangan orang, penyelundupan, pencucian uang, dan pemalsuan uang.
Secara, terpisah, Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana menjamin pemerintah tidak akan pernah melemahkan KPK melalui revisi KUHAP, termasuk soal kewenangan penyadapan KPK.
"Pemerintah tidak akan, tidak akan pernah melemahkan KPK. Dalam penyadapan, usulan kami jelas. KPK tetap dikecualikan dan tidak perlu izin hakim pemeriksa pendahuluan," ujar Denny dalam siaran pers yang diterima redaksi.
Denny menegaskan, UU KPK adalah lex specialis, sebuah aturan khusus, yang tidak harus merujuk pada aturan yang berlaku lebih umum, seperti KUHAP. Karenanya, tegas Denny, penyadapan oleh KPK dikecualikan dari izin penyadapan yang diatur dalam KUHAP.
"KUHAP sebagai lex generalis hanya akan berlaku (di KPK) sepanjang UU KPK tidak mengatur lain," ujar Denny.
Pemerintah, tegas dia, akan selalu mendukung KPK sebagai lembaga yang luar biasa dalam pemberantasan korupsi. Bentuk dukungan pemerintah pun dipastikan berupa upaya penguatan,
bukan pelemahan.
Denny menyatakan, pemerintah berterima kasih atas banyak masukan terkait rencana revisi KUHAP selama ini. Menurut dia, penyempurnaan RUU KUHAP mungkin saja terjadi. "(Tapi) kami akan pastikan naskah akademik dan rumusan di RUU KUHAP akan sejalan dengan penguatan agenda pemberantasan korupsi dan KPK," ujar dia.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR Ahmad Yani mengatakan pihaknya bertekad menyelesaikan pembahasan RUU KUHAP pada periode 2009-2014. Tahap awal pembahasan, kata dia, Komisi III mengagendakan kunjungan kerja ke beberapa wilayah di Indonesia.
"Tanggal 24-26 Maret 2013, Komisi III DPR RI akan melakukan kunjungan kerja ke Kalimantan Timur. Tanggal 27-29 Maret 2013 ke Sumatera Barat. Pekan lalu Komisi III DPR RI sudah road show ke Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah," kata Yani.
Selain dua RUU tersebut, Komisi III DPR RI akan menyelesaikan dua RUU sampM berakhirnya periode DPR RI Mi. "Kami ingin sistem hukum yang terintegrasi antara RUU KUHP, KUHAP, RUU Kejaksaan dan RUU Mahkamah Agung," ujar Yani.
Sedangkan anggota Komisi III DPR RI lainnya, Eva Kusuma Sundari menyatakan, diselesaikannya 4 RUU itu pada periode 2009-2014 merupakan tekad bersama. "Ini akan jadi warisan dan sejarah bagi Komisi III DPR RI untuk periode 2009-2014," kata Eva.

Sumber : Suara Karya, 21 Maret 2013

0 komentar:

Posting Komentar